Selasa, 20 Maret 2012

OVJ Kesenian Modern atau Populer


“Di sini gunung di sana gunung, wayangnya bingung dalangnya juga bingung, yang penting bisa ketawa.” Itu adalah sepengggal kalimat handal yang selalu dilontarkan Parto sang dalang dalam Opera Van Java. Sebuah komedi serial televisi yang hadir di Trans7 setiap pukul delapan malam. Opera Van Java merupakan sebuah seni tradisi, wayang orang, yang dikemas dengan bentuk keseuaian zaman sehingga menjadi menarik untuk dtonton. Format yang ditampilkan dalam OVJ (Opera Van Java) sangat bagus mengingat masyarakat saat ini mempunyai under estimated terhadap seni tradisi seperti wayang orang. Paradigma itu coba dhilangkan sekaligus berupaya melestarikan budaya jawa dengan format yang berbeda.
Dalam OVJ parto yang bertindak sebagai sang dalang menjadi penggerak pemainnya—sebagaimana peran dalang dalam wayang wong—, seperti, Andre taulani, Sule, Azis Gagap, dan Nunung. Tak hanya itu, dalang pun ditemani oleh sinden yang selalu bernyanyi setiap sang pemain memulai adegan dan di iringi oleh musik gemelan. Keunikan muncul ketika sebenarnya program yang di sadur dari wayang wong, yaitu dalangnya beserta wayang atau pemainnya dapat bertindak sesuka hati sesuai dengan keinginan dalang dan lepas dari keajegan formulasi wayang wong. Sebuah kombinasi yang menarik dengan menampilkan budaya jawa dengan balutan bercerita yang menarik.
Format atau tampilan yang berbeda terhadap sebuah seni tradisi sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Konsekuensi ini di ambil untuk memenuhi keinginan pasar yang mampunyai minat tinggi terhadap seni rakyat, tetapi tidak memiliki antusias tinggi untuk mengikuti jalannya acara seni tradisi. Sebelum OVJ kita pernah mendangar Ludruk Glamor, Ketoprak Humor, ataupun Srimulat. Hanya saja, OVJ menjadi sebuah penyajian yang istimewa karena ditempatkan pada kondisi lesunya acara hiburan berbalut budaya atau seni rakyat.
Melihat fenomena yang terjadi pada OVJ juga di korelasikan dengan budaya kapitalis saat ini. OVJ sebenarnya adalah sebuah produk dari budaya popular yang merajalela di Indonesia. Terutama dengan budaya konsumerisme dan kapitalis yang telah mencengkeram Indonesia. Para pemiliki modal dan juga korbannya, konsumen, menjadi sebuah titik inti diciptakan sebuah bentuk kebudayaan. OVJ salah satunya masuk dalam katergor populer yang mau tidak mau pun berorientasi pada massa beserta alibi postifnya untuk melestarikan budaya tradisional.

OVJ dan Seni Populer
Menurut Umar kayam , dalam kebudayaan istilah pop dibedakan dengan populer. Secara etimologis, istilah populer dikaitkan dengan massa, yaitu masyarakat banyak. Istilah pop art berhubungan dengan masyarakat kecil atau masyarakat minoritas. Lain halnya dengan di Indonesia, perkembangan seni pop pada umumnya disamakan dengan seni populer. Selanjutnya makna populer yang berkaitan dengan OVJ di konsistensikan tanpa mendikotomi antara pop art yang bercorak minoritas serta eksperimental dan popular art yang bercorak mayoritas. Secara kasat mata, kepopuleran OVJ terletak pada bentuk eksperimental—selanjutnya disebut kiscth—penyajiannya dan juga berorintasi pada massa.
OVJ sebagai bentuk saduran dari wayang wong mencoba mempertahankan sesuatu yang ajeg dan juga memberi sentuhan baru yang inovatif. Kesesuaian yang ajeg merupakan bagian dari budaya populer karena sudut pandang sudah dikenalnya budaya ini. Kemudian bercampur dengan format baru tanpa menghilangkan esensi dari wayang wong. Wayang wong yang ditampilkan oleh OVJ merupakan bentuk kesenian kraton yang sangat istimewa. Pencipta dari wayang ini adalah Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792) yang dalam pementasannya ceritanya di ambil dari wayang purwa dengan aktor manusia menggantikan wayang.
Dalam kebudayaan Indonesia, keberadaan pop art atau budaya tinggi dan populer atau budaya rendah telah dikenal dengan sebutan seni tradisi dan seni rakyat. Seni tradisi dan seni rakyat memang berbeda. Seni tradisi hidup di kota. Kesenian ini merupakan kelanjutan dari kesenian yang hidup dan berkembang di sekitar keratin atau tempat kekuasaan. Sedangkan seni rakyat tumbuh di desa, di tengah masyarakat kecil yang dalam segala hal Nampak jelas perbedaan kepemilikan (Lindsay:1990). Selanjutnya kesenian tardisional dapat disebut juga dengan kesinian modern , yaitu sebagai bentuk seni yang penggrapannya di dasarkan atas cita rasa di kalangan masyarakat pendukung. Cita rasa ini biasanya berupa penemuan dan pembaruan. Pembaruan dan penemuan adalah ciri utama pop art sehingga dapat disamakan dengan seni tradisi.
Fenomena pada OVJ merupakan hal lumrah yang sebenarnya sudah terjadi sejak lama. OVJ adalah perpaduan dari kesenian yang berbeda alam. Begitu halnya dengan kesenian Indonesia yang dapat hidup di dua lingkungan kebudayaan. OVJ sebagai bentuk sadur dari wayang wong merupakan bentuk kepemilikan masyarakat tertentu terhadap kesenian ini. Dalam konteks keindonesiaan, kepemilikan dan petumbuhannya pada masyarakat tertentu disebut juga kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah ini memiliki sejumlah ciri yang tak bisa hilang yang dapat disebut sebagai keajegan tradisi. Dalam OVJ penjagaan terhadap keajegan wayang wong dengan memperhatikan unsur penting berupa adanya sang dalang, wayang, dan juga sinden.
Selanjutnya, keberadaaan kesenian yang berada pada dua alam ini disebabkan seni tardisi mengalami saduran. Penyaduran ini telah menempatkan seni tradisi untuk dibentuk kembali oleh kebutuhan suatu kebudayaan yang lebih luas dan tidak sekadar menganut cita rasa tardisi asalnya. Hal ini menyebabkan lahirnya sebuah seni baru, yaitu seni kitch. Seni tradisi yang pada mulanya dimiliki lingkungn keraton atau kerajaan, kini juga dapat dimiliki oleh masyarakat luas atau luar istana. Kepemilikannya pun tidak dapat dengan mudahnya menyebut seni tradisi sebagai milik semua orang. Dalam lingkungan keraton, wayang wong tentunya tetap mempertahankan bentuk yang ada tanpa memperhatikan perkembangan zaman.
Apa yang di alami oleh OVJ sebenarnya merupakan jawaban dari pertanyaan Edy Sediawati dalam bukunya Pertumbuhan Seni Pertunjukkan. Seni tradisi seperti wayang wong, telah mengalami pergeseran kepemilikan. OVJ sebagai sebuah bentuk pertunjukkan yang dapat disajikan di luar lingkungan kebudayaan aslinya maka para penonton akan cenderung untuk menghargai sebagai sesuatu yang disebut Edy Sediawati, yaitu sesuatu yang eksotis dan bukan hal yang biasa-biasa saja. OVJ telah menempatkan kepopulerannya di lingkungan Indonesia dengan menampilkan sesuatu yang baru, inovatif, dan kita pun menikmatinya.
Edy Sediawati memaparkan dua tuntutan dalam perkembangan atas seni tardisi yang kemudian menjadi populer ini. Pertama, para penggemar dari luar lingkungan tradisi tersebut menginginkan pemeliharaan atas gayanya yang khas, sedangkan penggemarnya dari dalam lingkungannya ada yang menginginkan tetap aman dalam gayanya yang telah terkenal secara akrab. Ada juga yang menginginkan perkembangan dalam arti perubahan atau tambahan sesuai dengan perubahan zaman (Sedyawati, 1981:39).
Itulah yang terjadi pada OVJ, kita mungkin sebagai penonton atau lingkungan luar dari tradisi wayang wong menginginkan adanya penjagaan atas gayanya yang khas. Bahkan, kita mungkin menginginkan yang lebih dengan pemberian inovasi pada formulasi pertunjukkan.

Kitsch: Antara Seni Tradisi dan Seni Rakyat
Dalam perkembangannya, seperti yang telah disebutkan di awal, perpaduan dua budaya yang di alami oleh OVJ merupakan bentuk dari seni kitsch. Bentuk kesenian seperti ketoprak, wayang wong komersil (OVJ), dan ludruk dianggap sebagai seni tradisional karena kelahirannya dan pertumbuhannya sebagai seni berada di lingkungan istana atau kota. Seni tradisi pun kemudian dapat disamakan dengan pop art menurut “barat” karena kepemilikannya yang minoritas. Selain itu, ketoprak dan wayang wong komersil (OVJ) dapat juga dikatakan sebagai seni rakyat atau seni populer karena kepemilikannya yang dimiliki oleh orang banyak.
Karakteristik sebuah seni yang lahir dan tumbuh di lingkungan kerajaan atau kota dan dapat dikonsumsi orang banyak oleh Umar Kayam dipakai sebagai kriteria untuk menggolongkan suatu kategori kesenian yang disebut kesenian Kitsch. Umar kayam menggunakan ‘Kitsch’ untuk menggolongkan bentuk-bentuk kesenian yang tidak dapat disebut kesenian istana dan juga bukan kesenian rakyat , dan ia tidak membuat pertimbangan nilai kepada kualitas bentuk-bentuk kesenian tersebut (dalam bahasa inggris sehari-hari, ‘kitsch’ berarti murah, norak). Ini menunjukkan pentingnya memahami bagaimana istilah ini dan istilah lainnya digunakan dalam konteks Indonesia dan kita harus berusaha sangat cermat untuk memahami kata-kata yang sudah diindonesiakan (Lindsya, 1990:46).
Legitimasi kitsch pada OVJ terletak dari formulasi penyaduran seni tardisional wayang wong dalam bentuk yang baru. Wayang wong yang aslinya hanya dapat dinikmati atau mungkin dimiliki kalangan kerajaan saja, berkat format baru dari OVJ menjadikan wayang wong dimiliki orang banyak. Bentuk penyaduran dalam OVJ tentunya dengan memperhatikan beberapa aspek dari cerita hingga aksesori pertunjukkan. Beberapa di antaranya penyaduran atau perubahan yang dilakukan OVJ pada seni wayang wong adalah waktu, bahasa, dan cerita.
Bahasa, sesuai dengan tempat kelahirannya, yaitu Yogyakarta; wayang wong menggunakan bahasa keratin atau bahasa Jawa. Berbeda dengan OVJ yang menggunakan bahasa keseharian. Mencoba untuk menyarkan akan pentingnya kepemilikan terhadap budaya tardisional dan juga bukti bahwa kebudayaan Indonesia adalah puncak kebudayaan daera maka bahasa Indonesia di pilih dalam pementasa OVJ. Bahkan, dalam pementasan tak jarang atau memang sebagai bahasa dialognya, yang digunakan adalah bahasa Jakarta atau bahasa percakapan.
Dapat dilihat contoh dari pantun Parto yang bertindak sebagai dalang, yaitu “Di sini gunung di sana gunung, wayangnya bingung dalangnya juga bingung, yang penting bisa ketawa.” Pantun yang di ucapkan sang dalang dapat memperlihatkan pembahasaan dalam OVJ. Percakapan yang disampaikan tidak juga memiliki ajeg dalam keinovasian. Hal ini disebebkan karena titik utama dari komedi ini adalah improvisasi sang pemain atau wayang dengan bermain dalam lingkungan wayang wong. Tentunya, pembahasaan pada OVJ tidaklah begitu penting selama dapat memancing pemirsa merasa terhibur atau tertawa. Itulah yang dikatakan Parto, “yang penting bisa ketawa.”
Waktu, secara keseluruhan, wayang (kulit atau wong) dibagi menjadi tiga bagian atau pathet yang proporsinya dari penggambaran naratif, komplikasi, dialog dan gerakannya, kontras satu dengan yang lainnya. Lamanya waktu pementasan selama hampir delapan jam. Empat jam bagian pertama, yaitu pukul 09.00-01.00 merupakan pementasa bagian pertama pathet them. Bagian kedua, pathet sanga, biasanya berlangusng paling lama selamadua jam antara pukul 01.00-03.30. Kemudian bagian yang terakhir, pathet manyura, biasanya yang paling pendek berlangsung selama satu setengah jam antara 03.30-05.00. dapat disimpulkan kalau pementasan wayang wong berlangsung dari pukul 09.00-05.00 (Lindsay, 1990:121).
Dalam hal ini, waktu merupakan titik utama yang patut diperhatikan dalam menggarap kembali seni tradisional. Bahkan dikisahkan ketika diadakan pementasan wayang wong di Taman Ismail Marzuki pada decade awal tahu 1980-an, hanya orang-orang tua saja yang dapat bertahan menonton wayang wong dan beberapa mahasiswa FS UI. Masalah waktu memang titik poko dari penyaduran seni tardisi wayang wong ini.
OVJ yang merupakan saduran dari wayang wong mungkin tak bermaksud untuk memotong waktu pementasa denan alas an keajegan atau habisnya jalan cerita. Alasan utamanya tentu saja durasi waktu yang disediakan stasiun televise Trans7. OVJ yang disiarkan secara off air berlangusng antara pukul 20.00-21.00. Namun, durasi satu jam yang singkat itu di manfaatkan dengan mengefektifkan sebuah cerita. Bahkan, terkadang tak begitu penting isi ceritanya. Isi cerita hanya berguna sebagai pemantik kreativitas pemain dalam berperan. Durasi satu jam dengan cerita selesai dicoba untuk ditambah berupa intensitas siaran, yaitu dari hari senin sampai jumat.
Cerita, jelaslah sudah kalau dalam wayang wong, cerita yang sering ditampilkan adalah kisah Ramayana dan Mahabarata. Dalam OVJ dengan aksesorisnya yang berbau kerajaan, terutama untuk dalanganya yang selalu menggunakan pakaian daerah dan ditemani sindennya yang juga menggunakan kebaya Jawa. Cerita dalam OVJ tidak terpaku pada cerita kerajaan. Tak jarang memang cerita yang ditampilkan adalah cerita rakyat atau kerajaan. Namun, intensitas terbanyak adalah cerita modern atau mungkin karangan tim kreatif dari OVJ yang jauh dari tema-tema yang sudah dikenal.
Keterbatasan waktu yang hanya berdurasi satu jam, memang tak membuat OVJ begitu kaku. Cerita hanyalah pegangan untuk mendapat bahan lawakan saja. Bahkan, katika para pemain seperti Azis dan Sule sedang berdialog yang tidak sesuai dengan skeneario maka dalang Parto akan menghentikan cerita dan berteriak, “mana benang merahnya.” Oleh karena itu, OVJ mampu bertahan dengan komedi lain dan menjadi pilihan yang populer untuk ditonton pemirsa.

0 komentar:

Posting Komentar